Saturday, March 10, 2012

Be Brave! Life Must Go on




Wajah nenek itu tampak begitu tua, lelah dan kakinya tak lagi mampu menyangga tubuhnya untuk berjalan dengan cekatan. Dengan tertatih-tatih ia masih saja menggerakan kakinya, menjajakan barang dagangannya yang tak seberapa. Dia menjual peyek kacang buatannya, yang dia buat sebelum mentari pagi menampakkan sinarnya. Matahari terik menyinari kota di waktu zuhur, panas dan debu jalanan membuat tenggorokan terasa semakin kering. Dia masih saja berjalan menawarkan dagangannya kepada setiap orang yang berpapasan dengannya atau sengaja menghampiri kedai-kedai di sepanjang jalan yang ia lewati. Aku membeli satu bungkus dagangannya, dia tampak begitu bahagia. Diam-diam hatiku bergumam, aku begitu mengagumi keberaniannya. Keberaniannya untuk tetap berjuang meskipun teramat payah. Apa yang ia lakukan adalah perjuangannya untuk menyambung hidup. Mungkin tak begitu lama lagi, karena ia sudah tampak sangat tua dan lemah.

Aku benar-benar menundukkan hatiku di hadapannya. Bagaimana tidak? Dalam dirinya aku melihat ksatria. Dia tak hendak menyerah pada kerentaannya dan menghiba belas kasihan orang dengan meminta. Dia lebih memilih untuk meneruskan hidup dengan menguras keringatnya. Kali ini aku merasa, bahwa apa yang banyak ku keluhkan atas hidupku belumlah seberapa. Rengekanku atas apa yang ku sebut ‘derita’ baginya mungkin hanyalah luka-luka kecil seperti gigitan nyamuk.

Kulayangkan imajiku pada berita terakhir yang kusaksikan di TV, ihwal “Masalah Premanisme yang Semakin Membudaya di Indonesia.”.  Konon, maraknya kasus premanisme yang berwujud perampokan, pembunuhan dan aksi kriminal lainnya, salah satunya didorong oleh faktor sempitnya lapangan kerja yang tersedia dan semakin banyaknya pengangguran yang menyebabkan mereka –para preman itu- memilih cara yang paling mungkin untuk melanjutkan hidupnya, menjadi preman dan merampas hak orang.

Bayangkan, para preman itu adalah orang-orang yang masih segar bugar dan harus sangar. Kalau tidak, kualifikasi untuk menjadi preman tidak terpenuhi. Pada level pekerjaan paling ‘rendah’, saya yakin para preman itu masih mampu untuk berjualan peyek kacang seperti sang nenek. Anda tahu apa yang hendak saya maksudkan. Anda pun mungkin pernah menemukan fenomena serupa. Pertanyaannya, apa yang menjadi parameter harga diri seseorang? Apa makna keberanian hidup?  Apakah kita cukup berani untuk hidup dengan harga diri?

No comments:

Post a Comment