Wajah nenek itu tampak begitu tua,
lelah dan kakinya tak lagi mampu menyangga tubuhnya untuk berjalan dengan
cekatan. Dengan tertatih-tatih ia masih saja menggerakan kakinya, menjajakan
barang dagangannya yang tak seberapa. Dia menjual peyek kacang buatannya, yang
dia buat sebelum mentari pagi menampakkan sinarnya. Matahari terik menyinari kota di
waktu zuhur, panas dan debu jalanan membuat tenggorokan terasa semakin kering.
Dia masih saja berjalan menawarkan dagangannya kepada setiap orang yang
berpapasan dengannya atau sengaja menghampiri kedai-kedai di sepanjang jalan
yang ia lewati. Aku membeli satu bungkus dagangannya, dia tampak begitu
bahagia. Diam-diam hatiku bergumam, aku begitu mengagumi keberaniannya. Keberaniannya
untuk tetap berjuang meskipun teramat payah. Apa yang ia lakukan adalah
perjuangannya untuk menyambung hidup. Mungkin tak begitu lama lagi, karena ia
sudah tampak sangat tua dan lemah.
Aku benar-benar menundukkan hatiku di
hadapannya. Bagaimana tidak? Dalam dirinya aku melihat ksatria. Dia tak hendak
menyerah pada kerentaannya dan menghiba belas kasihan orang dengan meminta. Dia
lebih memilih untuk meneruskan hidup dengan menguras keringatnya. Kali ini aku
merasa, bahwa apa yang banyak ku keluhkan atas hidupku belumlah seberapa. Rengekanku
atas apa yang ku sebut ‘derita’ baginya mungkin hanyalah luka-luka kecil
seperti gigitan nyamuk.
Kulayangkan imajiku pada berita terakhir
yang kusaksikan di TV, ihwal “Masalah Premanisme yang Semakin Membudaya di
Indonesia.”. Konon, maraknya kasus
premanisme yang berwujud perampokan, pembunuhan dan aksi kriminal lainnya, salah
satunya didorong oleh faktor sempitnya lapangan kerja yang tersedia dan semakin
banyaknya pengangguran yang menyebabkan mereka –para preman itu- memilih cara
yang paling mungkin untuk melanjutkan hidupnya, menjadi preman dan merampas hak
orang.
Bayangkan, para preman itu adalah
orang-orang yang masih segar bugar dan harus sangar. Kalau tidak, kualifikasi
untuk menjadi preman tidak terpenuhi. Pada level pekerjaan paling ‘rendah’,
saya yakin para preman itu masih mampu untuk berjualan peyek kacang seperti
sang nenek. Anda tahu apa yang hendak saya maksudkan. Anda pun mungkin pernah menemukan fenomena
serupa. Pertanyaannya, apa yang menjadi parameter harga diri seseorang? Apa makna
keberanian hidup? Apakah kita cukup
berani untuk hidup dengan harga diri?
No comments:
Post a Comment